Sumber foto : theguardian.com
Ya Allah...tambah keren aja nih orang
Wah karirnya makin melejit deh kayaknya…
Senyumnya ituu…masih sama seperti yang
dulu
Tak sadar kalimat-kalimat ini terbersit dalam hati saat kita
lihat foto atau status “sang mantan”. Adakah yang punya pengalaman sama?
Hehe…cukup dijawab dalam hati saja.
Berawal dari sebuah cerita yang saya dapat beberapa waktu
lalu, pengalaman pribadi yang dialami seorang mahmud (mamah
muda) dan cerita lain yang banyak berseliweran di timeline facebook…
Dari yang semula penasaran “bagaimana
ya kabar “sang mantan” sekarang”, “seperti
apa ya dia dan keluarganya sekarang…”
Lalu iseng-iseng stalking
status facebook atau instagramnya, diam-diam menjadi follower setianya. Rajin pula
mengirim like dan komen ditiap statusnya.
Muncullah rasa rindu dan perasaan ingin mengulang masa lalu
yang mungkin terasa indah, dan berharap dia juga menaruh perhatian yang sama
dengan kita.
Lama-lama tangan jadi gatal ingin menyapanya secara personal.
Gayung bersambut, dia pun ternyata juga senang bertukar
sapa dengan kita..
Berlanjutlah nostalgia dan saling curhat.
Benih-benih CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) pun kian hari
kian mekar.
Yang paling menyedihkan jika berujung ke perselingkuhan dan
rumah tangga pun diambang kehancuran.
Berlebihankah cerita saya? Ooh tentu tidak…
Tanpa kita sadari, sekarang fenomena ini makin marak terjadi.
Di era serba digital dimana akses internet sudah bukan barang
langka lagi, banyak orang mudah sekali terkoneksi lewat media sosial,
baik facebook maupun instagram.
Mengapa untuk mencari tahu kabar “sang
mantan” sangatlah menggelitik?
Banyak faktor yang membuat kita melakukannya.
Pertama,
kita belum bisa move on dari masa
lalu. Kenangan indah yang dilalui bersama mantan,
karena yang dulu kita alami hanyalah kenikmatan semu semata. Kebaikan dari
mantan yang lebih banyak tampak, dan keburukannya masih banyak tersembunyi.
Sedangkan disaat kita berumah tangga, segala kebaikan dan keburukan pasangan
terpampang jelas di depan mata.
Kedua, kurang
harmonisnya kita bersama pasangan. Ada titik dimana perasaan jenuh,
bosan, atau tidak puas dengan pasangan memuncak. Hal ini lantas dijadikan
alasan untuk mencari sebuah pelarian.
Ketiga, ekspektasi
kita terhadap pasangan terlalu tinggi. Hal ini membuat kita tidak bisa berdamai
dengan realitas yang ada. Muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang berlebihan.
Hingga sang mantan hadir dengan membawa “keinginan” kita.
Lalu, wajarkah jika kita menyimpan rasa
kagum kepada “sang mantan”?
Menurut saya sih sangatlah
wajar dan manusiawi jika kita mengagumi seseorang.
Hanya saja tempatkan kekaguman itu pada tempat yang
proporsional, janganlah mengambil tempat utama di hati kita.
Kalau perlu masukkan saja perasaan itu ke dalam safety box, lalu kunci rapat kotaknya,
dan buang ke laut saja kuncinya…hehe
Nah, bagaimana jika sudah telanjur CLBK?
Ambil waktu khusus untuk merenung.
Seseorang yang sedang dikuasai hawa
nafsu biasanya bersikap emosional dan melakukan pembenaran.
Merenunglah dengan hati yang bening. Bertanyalah ke diri sendiri, apakah
selama ini saya salah? Bagaimana dengan pasangan saya? Lalu bagaimana dengan
masa depan rumah tangga dan anak-anak saya?Apakah rela semua hancur demi
kenikmatan semu belaka?
Berhentilah membandingkan pasangan dengan orang lain, terutama mantan.
Seringkali yang tampak hanyalah keburukan pasangan, padahal
sebenarnya tanpa kita sadari lebih banyak kebaikannya.
Karena kebaikan pasangan mungkin hanya kita anggap sebagai
rutinitas atau kewajiban saja
Ketika mulai membandingkan dengan orang lain, kita pun
selalu merasa rumput tetangga
lebih hijau. Apalagi kalau godaan CLBK itu datang,
bahaya deh…
Disaat mulai muncul desir lain didalam hati, sudah saatnya
alarm tanda STOP berbunyi nyaring.
Ingatlah kembali kebaikan-kebaikan pasangan.
Dalam Islam, ikatan pernikahan disebut sebagai suatu ikatan perjanjian
yang kuat dan kokoh (mitsaqan ghaliza).
Jangan lupa mohon pertolongan Allah
untuk kembali meneguhkan ikatan pernikahan kita, sehingga rumah
tangga sakinah, mawadah, warohmah bukanlah angan kosong belaka.
Bijak memanfaatkan waktu untuk online
Pembatasan waktu online hanya 4 jam sehari menurut saya cukup
efektif dan efisien. Masih banyak hal di dunia nyata yang menuntut perhatian penuh kita, seperti waktu bersama keluarga dan lingkungan sekitar, membereskan pekerjaan
rumah tangga, mengasuh anak, bisnis, bekerja,
belajar, dan terutama beribadah. Kita bisa dengan bijak memilah mana menjadi prioritas kita, termasuk “bergaul”
di media sosial. Tidak semua hal dari media sosial yang bisa membawa manfaat
bagi kehidupan kita.
Kitalah yang seharusnya mengendalikan media sosial sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan kita, bukanlah media sosial yang justru menguasai diri kita.
Sepakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar