Sumber foto : http://www.getnowapp.com/
Mungkin salahku sendiri...mengapa
sejak kecil aku tidak pernah berurusan dengan dapur. Nggak mau tahu urusan
memasak tepatnya. Dari kecil hingga aku beranjak dewasa, asisten rumah
tanggalah yang lebih sering menghidangkan aneka hidangan lezat di rumahku.
Ibuku yang seorang tenaga kesehatan berdedikasi tinggi, juga sering memasakkan
makanan favorit kami sewaktu ada waktu luang atau saat liburan. Tapi aku
sendiri tak pernah tertarik membantu mereka di dapur. Hah...anak perempuan
macam apa aku ini?
Untungnya saja setiap kali berlibur ke rumah eyangku di
Blora, beliau memberikan tugas di dapur dan aneka tips dasar memasak, mulai
dari mengupas bawang, mengulek bumbu, menumis, mengiris-iris, memarut kelapa,
sampai mengenalkanku aneka macam bumbu masakan. Bayangkan kalau saja eyangku
tak pernah menyeretku ke dapur, pastilah aku tak pernah bisa membedakan mana
laos dan kencur hehe...
Hingga waktunya aku berumah
tangga dan mengontrak sebuah rumah, aku berterus terang ke suami jika istrinya
ini tak piawai memasak. Kami lebih sering beli makanan jadi daripada memasak
sendiri. Saat sedang mood untuk
memasak, suami mau nggak mau terpaksa menghabiskan makanan yang kumasak biarpun
rasanya mungkin ngalor ngidul alias
nggak jelas...
Setelah pindah ke rumah sendiri,
aku memiliki asisten rumah tangga yang menginap di rumah dan otomatis aku
serahi urusan memasak. Sempat beberapa kali berganti asisten, dan aku pun masih
jarang memasak. Sampai sekitar empat bulan yang lalu, asisten rumah tanggaku
pamit karena ajakan anaknya untuk ikut merantau ke luar Jawa. Sempat kalang
kabut mencari pengasuh untuk si bungsu yang baru berumur dua tahun, akhirnya
kami menemukan penggantinya dari kampung sebelah, dan setiap hari pulang pergi.
Oke it’s fine... aku masih bisa menangani urusan rumah termasuk menyiapkan
keperluan ketiga anak-anakku sebelum berangkat ke kantor. Apalagi si sulung
masuk sekolah pukul 6.30. Jika harus menunggu asistenku yang datangnya pukul
6.30 untuk memasak, si sulung pastilah berangkat sekolah dengan perut kosong.
Untuk sarapan anak-anak bisa beli makanan jadi, pikirku. Tapi baru beberapa
kali berjalan, ah anak-anakku mulai bosan dengan menu yang itu-itu saja, nafsu
makan mereka pun jadi berkurang. Bisa runyam nih urusannya...
Oke...aku harus bisa memasak!
Tekad yang membara di dalam dada, demi memberikan yang terbaik untuk anak-anak.
Mulailah aku hampir tiap hari
belanja keperluan dapur, sayuran, lauk pauk, dan tetek bengeknya. Lalu aku
mulai menyusun menu harian yang terdiri dari sayur dan lauknya, kadang bisa 2
macam menu (pedas dan tidak pedas). Langkah selanjutnya adalah aku mengumpulkan
resep dari berbagai sumber, mulai dari tanya ke saudara, teman, lihat tayangan
kuliner di televisi, tapi kebanyakan dari browsing
internet. Alhamdulillah...kecanggihan teknologi pun bisa membantu emak-emak
seperti aku ini.
Jangan ditanya sulitnya
bagiku memberikan takaran gula garam yang pas. Awal-awal aku memasak, keluargaku
terpaksa makan dengan rasa masakan yang amburadul. Meskipun suami diam saja,
tapi anak-anakku yang polos itu melayangkan protes. Memang benar pepatah ala bisa karena biasa... Aku mulai
menemukan polaku sendiri untuk memasak. Aku anggap saja memasak seperti halnya trial and error praktikum jaman kuliah.
Jikalau gagal membuat masakan yang lezat, jangan langsung putus asa dan mesti
dicoba lagi. Aku nggak boleh gengsi untuk bertanya kepada orang lain yang lebih
piawai. Tak ketinggalan suamiku terus menyemangati, “Kamu itu harus lebih pede
masak!” katanya berkali-kali.
“Bu...Ibu...aku nambah lagi ya
makannya...”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari anak-anakku inilah
membuatku harus terus memasak untuk mereka, menyiapkan menu sehat yang
menunjang tumbuh kembang mereka dengan tanganku sendiri dan diracik dengan
bumbu rahasia. Ssstt mau tahu bumbu rahasianya? Sebongkah cinta...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar