Sabtu, 24 Desember 2016

SAAT HARUS MEMASAK

Sumber foto : http://www.getnowapp.com/


Mungkin salahku sendiri...mengapa sejak kecil aku tidak pernah berurusan dengan dapur. Nggak mau tahu urusan memasak tepatnya. Dari kecil hingga aku beranjak dewasa, asisten rumah tanggalah yang lebih sering menghidangkan aneka hidangan lezat di rumahku. Ibuku yang seorang tenaga kesehatan berdedikasi tinggi, juga sering memasakkan makanan favorit kami sewaktu ada waktu luang atau saat liburan. Tapi aku sendiri tak pernah tertarik membantu mereka di dapur. Hah...anak perempuan macam apa aku ini? 

Untungnya saja setiap kali berlibur ke rumah eyangku di Blora, beliau memberikan tugas di dapur dan aneka tips dasar memasak, mulai dari mengupas bawang, mengulek bumbu, menumis, mengiris-iris, memarut kelapa, sampai mengenalkanku aneka macam bumbu masakan. Bayangkan kalau saja eyangku tak pernah menyeretku ke dapur, pastilah aku tak pernah bisa membedakan mana laos dan kencur hehe...

Hingga waktunya aku berumah tangga dan mengontrak sebuah rumah, aku berterus terang ke suami jika istrinya ini tak piawai memasak. Kami lebih sering beli makanan jadi daripada memasak sendiri. Saat sedang mood untuk memasak, suami mau nggak mau terpaksa menghabiskan makanan yang kumasak biarpun rasanya mungkin ngalor ngidul alias nggak jelas...

Setelah pindah ke rumah sendiri, aku memiliki asisten rumah tangga yang menginap di rumah dan otomatis aku serahi urusan memasak. Sempat beberapa kali berganti asisten, dan aku pun masih jarang memasak. Sampai sekitar empat bulan yang lalu, asisten rumah tanggaku pamit karena ajakan anaknya untuk ikut merantau ke luar Jawa. Sempat kalang kabut mencari pengasuh untuk si bungsu yang baru berumur dua tahun, akhirnya kami menemukan penggantinya dari kampung sebelah, dan setiap hari pulang pergi. Oke it’s fine... aku masih bisa menangani urusan rumah termasuk menyiapkan keperluan ketiga anak-anakku sebelum berangkat ke kantor. Apalagi si sulung masuk sekolah pukul 6.30. Jika harus menunggu asistenku yang datangnya pukul 6.30 untuk memasak, si sulung pastilah berangkat sekolah dengan perut kosong. Untuk sarapan anak-anak bisa beli makanan jadi, pikirku. Tapi baru beberapa kali berjalan, ah anak-anakku mulai bosan dengan menu yang itu-itu saja, nafsu makan mereka pun jadi berkurang. Bisa runyam nih urusannya...

Oke...aku harus bisa memasak! Tekad yang membara di dalam dada, demi memberikan yang terbaik untuk anak-anak.

Mulailah aku hampir tiap hari belanja keperluan dapur, sayuran, lauk pauk, dan tetek bengeknya. Lalu aku mulai menyusun menu harian yang terdiri dari sayur dan lauknya, kadang bisa 2 macam menu (pedas dan tidak pedas). Langkah selanjutnya adalah aku mengumpulkan resep dari berbagai sumber, mulai dari tanya ke saudara, teman, lihat tayangan kuliner di televisi, tapi kebanyakan dari browsing internet. Alhamdulillah...kecanggihan teknologi pun bisa membantu emak-emak seperti aku ini. 

Jangan ditanya sulitnya bagiku memberikan takaran gula garam yang pas. Awal-awal aku memasak, keluargaku terpaksa makan dengan rasa masakan yang amburadul. Meskipun suami diam saja, tapi anak-anakku yang polos itu melayangkan protes. Memang benar pepatah ala bisa karena biasa... Aku mulai menemukan polaku sendiri untuk memasak. Aku anggap saja memasak seperti halnya trial and error praktikum jaman kuliah. Jikalau gagal membuat masakan yang lezat, jangan langsung putus asa dan mesti dicoba lagi. Aku nggak boleh gengsi untuk bertanya kepada orang lain yang lebih piawai. Tak ketinggalan suamiku terus menyemangati, “Kamu itu harus lebih pede masak!” katanya berkali-kali.

“Bu...Ibu...aku nambah lagi ya makannya...”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari anak-anakku inilah membuatku harus terus memasak untuk mereka, menyiapkan menu sehat yang menunjang tumbuh kembang mereka dengan tanganku sendiri dan diracik dengan bumbu rahasia. Ssstt mau tahu bumbu rahasianya? Sebongkah cinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar