Rabu, 18 Januari 2017

KISAH PARA PENJUAL RENTA

Beberapa waktu lalu, aku mengajak putriku, Raina, membeli kacang tanah mentah di pasar.
Nenek penjual kacang mentah ini ternyata juga menjual gethuk, tiwul, dan sawut...makanan khas tempo doeloe...
Setelah kubayar kacangnya, nenek ini justru memberikan bonus sebungkus gethuk dan sawut yang diserahkan ke Raina.
"Iki Nduk, diparingi Simbah yo..." (ini Nduk, dikasih Nenek ya...)
Whoaa... satu kejadian menyentil lagi untukku.
Bahwa memberi tidak harus menunggu saat kita sudah berkecukupan.
Tapi di saat dalam keterbatasan pun, kita bisa memberi dengan apa saja yang kita punya saat itu.
Mungkin tidak harus berupa materi, tapi sebentuk perhatian kecil yang tulus seperti ini pun bisa sangat menyentuh hati.



Teman-teman yang berdomisili di Salatiga tentu sudah tak asing dengan Alun-alun Pancasila. Sewaktu sore hari ada penjual kacang dan jagung rebus yang tua renta mangkal di dekat lokasi Masjid Agung. Dengan gerobak kecilnya dia menunggu pembeli datang.
Saat itu ada seorang yang mendekat menawar jualannya,
“Mbah sebungkus kacangnya berapa?”.
“Lima ribu saja...”.
“Lhooo, nggak boleh kurang to?”.
“Belum boleh Bu... kalau nggak jadi beli juga nggak apa-apa...”, katanya pasrah.

========

Penjual kacang mentah dan penjual kacang rebus itu masih menjemput rizki di usianya yang sudah senja.
Kemanakah keluarganya atau anak-anaknya? Apakah tak ada yang peduli?
Hmm...tak perlu kita berburuk sangka kepada mereka. Aku sendiri sering bertemu dengan orang tua yang menolak diam beristirahat karena sedari muda mereka sudah terbiasa bekerja keras.
“Yen thenguk-thenguk ngenteni kiriman anak, malah awake lara...(Kalau berdiam diri menanti kiriman anak, malahan badan terasa sakit)”, begitu kira-kira alasan yang mereka lontarkan.
Tapi ada juga orang-orang renta yang masih terus berjuang menyambung hidup dengan menjaga diri dari meminta-minta, mereka melakukan apapun untuk mendapatkan sesuap nasi, termasuk berjualan apa saja.

Kadang begitu beratnya kita mengeluarkan uang lebih untuk para penjual di pinggir jalan, bahkan untuk harga yang terhitung wajar saja kita masih getol menawar dengan harga lebih rendah.
Tapi jika kita belanja di sebuah mall, supermarket atau makan di restoran, kita rela membayar dengan harga berapa pun meskipun jauh lebih mahal.
Sedikit rupiah yang kita bayarkan untuk pedagang renta ini, mungkin saja berarti banyak bagi mereka.

Masih tegakah kita menawar seribu dua ribu lebih murah demi kepuasan diri, padahal mungkin saja sangat berarti bagi mereka?

2 komentar:

  1. seperti nenek saya dulu, sudah sepuh masih juga jualan. sudah dilarang sama anak dan cucunya masih tetap saja....

    BalasHapus
  2. Naah iya kan mba? tapi kadang kita udah suudzon duluan sm keluarganya. makasih udah mampiiir

    BalasHapus