Suatu episode yang kelam dalam hidupku, saat
mendengar seseorang berkomentar tentang keadaan anak keduaku, Aizar.
Kejadian ini berlangsung pada tahun 2014 silam, saat
itu Aizar berusia hampir dua tahun. Aizar termasuk anak yang mengalami
keterlambatan tumbuh kembang. Pada usia 18 bulan, dia baru mulai berjalan
tertatih-tatih, di saat anak seusianya mungkin sudah mulai berlari-lari kecil. Dia
pun tak melewati fase merangkak seperti umumnya anak balita lainnya. Berat badannya
juga selalu berada di bawah garis normal KMS, bahkan mendekati garis merah atau keadaan kurang gizi.
Belum lagi saat itu, Aizar menderita alergi yang
cukup parah terhadap susu sapi, sehingga dia tak bisa sembarangan minum susu
formula maupun makanan olahan dari susu. Selama ini dia minum ASI, tapi karena
aku mengandung anak ketiga dan mulai muncul kontraksi-kontraksi palsu, akhirnya
kuhentikan menyusuinya.
Berbagai cara telah aku dan suami lakukan untuk
memperbaiki keadaan Aizar. Kami mendatangi dokter spesialis anak ternama di
kota kami untuk konsultasi. Kami juga mendaftarkan Aizar untuk terapi di sebuah
klinik tumbuh-kembang anak. Untuk penanganan alerginya, selain dari dokter
spesialis anak, kami juga rutin berkunjung ke seorang dokter yang melakukan
terapi bioresonansi. Asupan berbagai suplemen vitamin maupun berbagai madu pun tak
lupa kami berikan untuk Aizar.
Sebagai seseorang yang berlatar belakang dunia
kesehatan, aku sempat mencurigai bahwa Aizar menderita sakit TB anak. Berat
badannya yang kurang dan nafsu makannya yang buruk mendorong kami untuk
melakukan pemeriksaan TB anak. Akhirnya dokter spesialis anak melakukan serangkaian
pemeriksaan kepada Aizar. Mulai dari tes Mantoux,
dimana suatu reagen tertentu dimasukkan ke bawah kulit tangan, hasil
pemeriksaan akan diamati beberapa hari kemudian untuk menentukan positif atau negatif
terpapar kuman TB. Lalu Aizar juga dilakukan foto radiologi dan juga
pemeriksaan darah.
Beberapa hari kemudian, kami konsultasi kembali ke
dokter. Setelah melakukan scoring TB,
dokter menyatakan bahwa Aizar tidak terinfeksi kuman TB. Hasil tes mantoux negatif,
hasil foto radiologi juga normal, hasil pemeriksaan darah pun tak ada yang
mencurigakan. Semuanya baik-baik saja!
Entah lega atau tidak yang berkecamuk dalam hatiku
saat mendengar perkataan dokter. Aku justru makin bingung harus bagaimana lagi untuk
memperbaiki keadaan Aizar.
Hal ini menjadikanku pribadi yang agak sensitif. Aku
sempat merasa menjadi ibu yang payah. Tak mengerti apa yang harus kulakukan
untuk anakku sendiri. Berbagai komentar miring mulai dari yang serius sampai
yang bernada candaan tentang Aizar sangat menusuk-nusuk hatiku. Semua orang tak
pernah tahu betapa hatiku menyimpan bara saat itu, karena aku sangat pintar
membalutnya dengan senyuman. Ah, bak pemain sandiwara rasanya. Aku berpura-pura
semuanya baik-baik saja, padahal aku sering menangis diam-diam. Sungguh
melelahkan!
Satu kejadian yang tak akan pernah kulupa, saat
salah seorang ibu menyapa dan berkomentar, “Duuh, kok anaknya kurus banget
badannya, kayak anak Somalia aja. Padahal ibunya kan kerja di bidang kesehatan
lho, kok bisa ya …”
Nah lho! Speechless
…
Si ibu ini tak pernah tahu bagaimana perjuangan kami
sesungguhnya. Enteng sekali dia bicara seperti itu entah dengan maksud apa. Hatiku
makin teriris. Ya Allah, ikhtiar apa lagi yang harus kami lakukan?
Aku pun terus bertanya-tanya dalam hati, jika terus
membiarkan orang lain melukai perasaanku, apakah aku selamanya akan menderita?
Aku tak bosan untuk memohon petunjuk-Nya apa lagi yang
harus kulakukan. Sebuah bisikan dalam hatiku mengatakan, jika kau ingin anakmu
bahagia maka kau pun harus menjadi ibu yang berbahagia. Anak-anakku tak membutuhkan
seorang ibu yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan ibu yang bahagia, yang
mencintai dan menerima mereka apa pun keadaannya.
Aku mulai berdamai dengan diri sendiri. Aku memaafkan
diriku sendiri dan orang-orang yang telah menyakiti kami. Aku mulai menempatkan
perisai di dalam hatiku. Jika ada komentar-komentar negatif tentang kami, hal itu
tak akan berhasil melukai perasaanku. Aku pun belajar untuk menghargai
perjuangan masing-masing orangtua, sehingga sebisa mungkin kujaga perkataanku
untuk tak mengeluarkan kalimat bernada celaan.
Aizar bersama kakak dan adiknya saat ini
Tahukah apa yang terjadi kemudian? Keadaan Aizar
berangsur-angsur membaik. Dia bisa mengejar ketertinggalan tumbuh kembangnya. Dia
tumbuh menjadi anak yang bahagia dan lebih percaya diri. Sewaktu melihatnya saat
ini, rasa haru seringkali menyelinap di hati. Semua itu berawal dari penerimaan
terhadap diri sendiri.
Buatku, #MemesonaItu saat menyadari bahwa aku
bukanlah ibu yang sempurna, dan setelahnya keajaiban itu akan datang dengan sendirinya.
Ini ceritaku tentang makna #MemesonaItu. Bagaimana
cerita #MemesonaItu milikmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar